KABAR MUSLIM - Oleh: Ernydar Irfan
SAYA mengenal ibu tua itu. Kini ia terbaring lemah di tempat tidur rumah sakit.
“Ibu…. Ini Bu Irfan.”
Ia membuka matanya. “Siapa?” Katanya menatapku lalu ia kembali memejamkan matanya.
“Ibu sudah enggak ngenalin siapa siapa Bu. Kerjanya ngomel aja. Diajak ngomong gak nyambung. Makan gak mau, ini barusan minum obat mungkin ngantuk,” kata seorang pria yang menunggui ibu itu.
Tiba – tiba si ibu kembali mengomel dengan bahasa sunda yang artinya kurang lebih begini, “Pusing, udah tua, capek, pengen istirahat. Gak ada penghargaannya.”
Pria itu berkata, “Anaknya gak ada yang nungguin Bu. Kemarin ada anak angkatnya yang laki-laki nungguin sehari, terus pulang. Kalau anaknya yang perempuan paling dateng sebentar terus pulang lagi. Katanya adiknya hari ini ada yang mau datang tapi sampai jam segini belum muncul.”
“Bapak ini siapanya ibu?” Tanya saya. Karena seingat saya mengenal ibu ini saya belum pernah melihat bapak satu ini.
“Saya bukan siapa-siapa. Saya kerja disini, suka ngurusin nganter jemput kalau ibu cuci darah. Karena gak ada yang nungguin, kasihan. Jadi saya tungguin, takut pengen apa-apa. Tadi saya suapin makan dapet cuma 3 suap,” jawabnya.
Saya dan suami tercengang. “Bukan siapa -siapa?” Pikirku dalam hati. Tapi yang dilakukannya lebih dari orang yang seharusnya bertanggung jawab merawat si ibu.
Hati ini tiba tiba terasa pilu. Saya berusaha mengalihkannya dengan membaca sedikit surat-surat pendek yang saya hafal. “Ibu jangan ngomel ngomel yaa… Istighfar aja. Dzikir.”
Tapi mendengar ucapan saya ia kembali menatap saya dan mengangguk. Lalu beliau langsung melafadzkan dzikir. Sedih saya melihatnya. “Benar kata orang, kalau orang tua kaya anak jadi raja, tapi kalau anak kaya orang tua jadi pembantu.” Kata pria itu lagi.
“Pak… Saya pamit aja, biar ibu istirahat. Saya titip ibu ini yaa… Beliau sangat baik dengan semua orang.”
Pria itu menjawab, “Iya Bu… Ibu ini orangnya baik banget. Saya gak ngerti kenapa anaknya begitu.”
“Ibu saya sama suami pulang yaa… Sekalian minta maaf kalau saya, suami dan anak anak saya punya salah.”
Beliau kembali membuka mata dan menatap saya. “Sama-sama yaa bu.. (Beliau kembali bisa memahami apa yang saya katakan dan merespon dengan benar).”
“Inget yaa bu jangan ngomel. Dzikir aja.” Kataku lagi. Beliau pun kembali berdzikir.
Kami pun keluar ruangan. Sambil berjalan saya terkenang sikap beliau. Pedih hati ini semakin terasa ketika saya mengingat betapa sang ibu begitu mencintai anaknya. Saya tau persis karena ketika ibu ini sehat, beliau suka sembunyi sembunyi datang ke rumah sekadar bercerita mengeluarkan isi hatinya. Dan saya hanya menjadi pendengar setia dan pengusap punggungnya ketika ia menangis. Kecintaannya pada anaknya tidak jarang mengorbankan mimpi, harapan dan kebahagiaannya.
Beberapa hari kemudian saya mendapatkan kabar, ibu itu keluar dari rumah sakit, namun tidak dibawa ke rumahnya. Beliau di tempatkan di gubuk tanpa ubin di desa terpencil dekat kerabatnya. Anaknya hanya menjenguknya sesekali. Selang berapa minggu beliau menghembuskan nafas terakhirnya dan dimakamkan di desa itu.
Beliau adalah orang yang baik, sebuah pelajaran bahwa kecintaan kita pada anak belum tentu menjadikan cinta yang berbalas. Kecintaan kita pada anak jangan sampai melalaikan kita untuk juga berbuat baik pada orang orang di sekeliling kita. Karena balasan kebaikan itu tidak pernah kita ketahui kapan, bagaimana dan dari siapa kelak kita dapatkan.
Semoga kita memiliki anak anak yang shalih dan shalihah yang mau mengasihi, menyayangi dang mengurus kita saat kita tidak lagi berdaya dan semoga kebaikan dan kasih sayang selalu ada di sekeliling kita.[]
Sumber : Islam Pos
Tidak ada komentar:
Posting Komentar